Berlatar belakang sebagai Dosen Perguruan Tinggi Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, dengan tekad yang bulat sebut saja sosok DR La Ode Abdul Natsir Moethalib, pada tahun 2017 silam, dinobatkan terpilih menjadi Ketua Komisioner KPU Sulawesi Tenggara Periode 2017-2022, dengan devisi tugas sebagai Koordinator Devisi Umum Keuangan dan Logistik.
Pria kelahiran Pola Muna timur 7 Januari 1973 ini, menempuh jenjang pendidikan formalnya di SDN 2 Pure tamat 1986. Kemudian lanjut SMPN 3 Raha tamat 1989 dan SMA 2 Baubau 1992.
Setelah tamat Ia melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Universitas Halu Oleo (UHO) pada Fakultas Ekonomi S-1 manajemen alumni 2000. Terus melanjutkan Studi Program Magister (S2), tepatnya di Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung alumni 2005.
Kemudian lagi, di tengah rutinitasnya yang begitu padat sebagai Komisioner, Abdul Natsir masih sempat melanjutkan program Doktoral (S3) Manajement di UHO alumni tahun 2015.
Dengan terus mewujudkan pengabdian kepada bangsa dan negara khususnya masyarakat Sultra, Abdul Natsir yang kerap dipanggi Bang Ojo ini, memilih karier untuk berkencimpung di dunia Kepemiluan pada zaman era reformasi kala itu.
Ia memulai menjadi Sekertaris anggota Pengawas Pemilu (Panwaslu) Sultra pada tahun 1999. Kemudian dipercaya menjabat Ketua KPU Kota Kendari periode 2013-2018.
Ia menceritrakan, buah karier yang telah dijalaninya jauh sebelum menyandang jabatan dosen di UHO. Semasa kuliah dirinya sudah terlibat aktif dalam dunia organisasi baik internal maupun eksternal khususnya dunia kepemiluan.
Dimana puncaknya pernah memimpin Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (Dema) UHO tahun 1998-2000. Ia mengaku, memang sejak jadi mahasiswa sering terlibat aktif dalam kajian kepemiluan dan pernah menjadi yang menjadi bagian tim kajian akademisi pemekaran Kabupaten Muna Barat, Kota Raha dan Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Muna.
Rupanya dirinya, tidak hanya menjadi mahasiswa yang mengerjakan hal-hal proses belajar mengajar akan tetapi sudah terlibat aktif dalam proses demokratisasi.
Namun seiring perjalanan karier yang diembannya, seorang akademisi Doktoral Manajemen UHO ini tekad mewujudkan cita-citanya menjadi Komisioner ketika itu asal mulanya, melihat ada peluang untuk mengabdi di lembaga lainnya seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Saya melihat KPU ini pengabdiannya sangat luas. Masyarakat menganggap KPU sebagai lembaga yang profesional mandiri dan berintegritas. Disana melaksanakan proses Pemilu yang melahirkan pemimpim-pemimpin politik baik itu legislatif maupun eksekutif,” ujarnya.
Sehingga tentu saja ingin terlibat apalagi sesuai baccground dirinya memang ada untuk itu. Dimana dari kampus hal-hal yang sifatnya aktif pada dunia-dunia demokratisasi pada saat itu. “Dan kemampuan terkait kepemiluan itu kita sudah lakukan jauh sebelum kami bekerja. Kita mamahami demokrasi tidak hanya dari sisi aspek wawasanyna tetapi kita ingin juga dari sisi prakteknya,” jelasnya.
“Alhamdulillah keinginan itu bisa diwujudkan dengan lembaga KPU. Makanya sejak 2008 saya mengikuti seleksi KPU Kota Kendari. Dan terkaver hingga saat ini menjadi bagian Komisioner KPU tingkat Provinsi,” katanya.
Tak lain niatanya melalui jalur KPU ingin mengabdi dalam rangka mengembangkan demokrasi dan dunia Kepemiluan. “Kami menyadari penuh di KPU memiliki banyak tantangan antara lain kita harus beradaptasi terhadap perubahan regulasi. Dimana regulasi pemilu hampir setiap saat adanya pemilu selalu ada perubahan,” terangnya.
Kemudian lagi terkait dengan pelaksanaan tugas sebagai penyelenggara Pemilu dalam mengendalikan penyelenggara Pemilu baik tingkat KPU Kabupaten/kota, PPK, PPS hingga ke tingkat KPPS. Otomatis sedianya, harus meningkatkan kompetensi dari waktu ke waktu agar bagaimana tugas-tugas sebagai penyelenggara Pemilu terlaksana dengan baik.
Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kendari ini menuturkan, seorang Komisioner harus memiliki kemampuan leadership yang lebih matang. Hal ini penting untuk menopang dalam mengelola tatanan organisasi dan mengendalikan proses Pemilu dari berbagai tingkatan pemilihan. Karena yang dihadapi berbagai macam karakteristik.
Seperti peserta maupun penyelenggara. Olehnya itu, memaksimalkan pelayanan. Memilih profesi sebagai penyelenggara harus berusaha dari waktu ke waktu untuk membenahi kemampuan dan mental.
“Kita ciptakan proses Pemilu tidak hanya baik pada aspek prosedurnya, tetapi hasilnya juga terpercaya. Sehingga ini punya daya tarik sendiri dan tantangan tersendiri,” ungkapnya.
Pria yang di karunia tiga anak ini memandang, daerah bumi anoa ini dinamika politiknya sangat tinggi. Namun belajar dengan pengalaman yang ada Insya Allah setiap masalah dapat teratasi sesuai koridor peraturan perundang-undangan.
“Kita tetap menyangga marwah KPU yang menjadi larangan kewajiban secara etik sebagai penyelenggara,” terangnya.
Ia menyebut, dari aspek geografis Sultra terdapat 8 daerah kabupaten/kota di daerah kepulauan, dan di daratan terdapat 9 daerah dengan jumlah 2019 kecamatan dan jumlah desa sebanyak 3.000-an desa.
Jadi untuk menjaga semua daerah tersebut harus senantiasa fit sehingga daya jelajah untuk melakukan supervisi dan monitoring dari waktu ke waktu tetap dalam kondisi prima. “Kadang-kadang kita habis dari daratan kemudian kita harus menyeberang lewat kapal untuk melaksankan tugas. Ini tantangan tugas dan Alhamdulillah selama ini bisa kita jalankan,” katanya.
“Artinya berkat dukungan seluruh pihak tentunya Pemilu di Sultra dengan dinamika yang sangat tinggi tersebut, tetap bisa melalui prosesnya dan selalu berjalan dengan baik,” tandasnya.
Tantangan Pilkada PSU Muna dan Paslon Tunggal di Buton
Pemuda Muna Timur ini mengatakan Komisioner KPU Sultra pernah menghadapi banyak rintangan dan tantangan entah itu Pemungutan suara Ulang (PSU) kemudian ketegangan politik tetapi itu hal biasa dijadikan sebuah tantangan untuk dikendalikan dengan baik.
Pemilukada sultra ini semua hampir pengalaman kita hadapi, seperti ada calon tunggal, dan ada PSU di Kabuapten Muna. Tentu Pilkada Muna dan Pilkada satu paslon di Buton, kedua Pilkada ini betul-betul bisa dijadikan sebagai laboratorium tempat untuk belajar sesungguhnya hal sekecil apapun itu perlu diantisipasi.
Misalnya data pemilih.Kalau tidak diatasi akibatnya akan berulang ulang. Contoh Pemilu serentak yang ada di Muna itu masuknya pemilih dari Buton Tengah di daerah perbatasan ikut memilih di Muna dikemudian hari diketahui bermasalah dan PSU.
Setelah diulang lagi ternyata ada penduduk yang tidak diakui oleh pemerintahnya kemudian disampaikan ke MK diulang lagi.
“Kami melihat pada saat itu setelah kita validasi ulang DPT ternyata memang masih banyak masalah yang perlu diperbaiki terkait DPT tersebut,” jelasnya.
Mengelolah dampak politik yang sifatnya ketegangan-ketegangan sebagai pihak penyelenggara, kata Bang Ojo, harus dilakukan antisipasi dengan melakukan koordinasi bersama stakeholder.
Baik itu pengamanan maupun kelompok sosial bahwa pemilu ini bukan hanya menjadi tanggung jawab KPU maupun Bawaslu.Tetapi menjadi tanggungjawab bersama. Pemilu di Muna itu menjadikan inspirasi tersendiri sebagai wilayah Koordanya dan juga Pilkada Buton.(***)
Penulis: La Ismeid (adalah Pemuda Muna Timur Kabupaten Muna)
Tinggalkan Balasan