Belum lama ini Ust. Abdul Shomad (UAS), membatalkan sejumlah agenda safari dakwahnya di wilayah Jateng dan DIY. Beliau mengeluhkan, ada tekanan dan intimidasi atas kegiatan dakwah yang beliau lakukan.
Meskipun beliau tidak menyebut tekanan darimana, namun jika merujuk kronologi pembatalan -dimana sebelumnya ada sekelompok kecil individu atau Ormas tertentu- yang menolak ceramah UAS di Jepara. Tentu dapat kita pahami sumber tekanan dan intimidasi itu.
Lebih jauh, jika rangkaian intimidasi dan tekanan itu bersumber dari Ormas tertentu -yang mashur dan dikenal oleh publik- sebagai ormas tukang membubarkan pengajian, maka kita pun dapat menyimpulkan ada keterlibatan ‘rezim’ dalam serangkaian tekanan dan intimidasi yang dialami UAS. Sebab, penguasa melalui alat kelengkapan negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin keamanan dan memberikan rasa aman kepada setiap warga negara.
Pasal 28D UUD 1945 menyatakan bahwa :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Karena itu, Pembiaran tindakan bar-bar sekelompok kecil ormas yang berbusa-busa berdalih jaga NKRI, Pancasila dan menjunjung kebhinekaan, yang menghalangi dan membubarkan pengajian, termasuk mengancam rencana pengajian dan safari dakwah UAS di Jepara, adalah bentuk kegagalan negara melindungi warga negaranya.
Pada kasus UAS, Polri sebagai alat negara untuk menegakkan hukum memberikan sikap yang sejalan dengan perlakuan terhadap aspirasi masyarakat yang ingin menyampaikan pendapat melalui tagar 2019 ganti Presiden. Penghadangan dan komplain terhadap hak menjalankan aspirasi justru dijadikan dalih untuk membubarkan kegiatan penyampaian hak konstitusional warga negara yang memiliki pendapat 2019 ganti Presiden.
Alih-alih perusuh, penghadang, pembuat onar yang ditindak, justru warga negara yang ingin menyampaikan hak berpendapat yang dipersekusi. Pada kasus Neno Warisman misalnya, bukannya Neno yang dilindungi, justru Neno yang dipersekusi. Sementara, para perusuh, pembuat onar di bandara, dibiarkan meraja lela.
Pada kasus UAS juga demikian, bukannya menertibkan ormas radikal yang gemar membubarkan pengajian, justru Polri mengambil sikap pasif seperti cenderung membiarkan ujaran ‘tantangan dan teror publik’ terhadap aktivitas dakwah ini terus berlanjut. Jika diteruskan, kuat dugaan pengajian UAS yang akan diminta dihentikan dengan dalih ada pihak yang tidak sependapat dengan materi ceramah UAS. Bukan ormas pengacau yang diamankan polisi.
Tidak ada tindakan antisipasi dari Polri untuk menertibkan sekelompok kecil ormas yang secara jumawa seolah telah menjadi aparat hukum atau alat negara. Justru, tindakan perlindungan dan pembelaan hukum kepada ustadz Abdul Shomad muncul dari LBH-LBH Islam, advokat, ulama, himpunan Alumni, Ormas seperti pemuda Pancasila, FPI, dan elemen civil society lainnya. Negara justru absen dari tugas utamanya memberi jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum kepada setiap warga negara.
Rangkaian peristiwa ini dapat menghasilkan kesimpulan tentang adanya dugaan kuat bahwa ‘negara’ atau ‘rezim’ justru berada di balik seluruh tindakan persekusi kepada ulama, habaib, tokoh Islam dan elemen umat Islam pada umumnya, khusunya yang kontra pada kezaliman yang dipertontonkan rezim.
Kesimpulan ini dapat dibenarkan, sepanjang tindakan persekusi, intimidasi, dan ancaman pembubaran aktivitas dakwah para ulama terus berlangsung, baik dengan menggerakan sekelompok kecil ormas tertentu atau langsung dengan menyalahgunakan alat dan aparat negara untuk menjalankan agenda kekuasaan.
Karenanya, jika negara serius tidak terlibat dalam seluruh keruwetan ini, maka negara harus segera dan serta merta mengambil tindakan untuk mensterilkan negara dari eksistensi sekelompok kecil ormas radikal dan intoleran, yang kerap membubarkan kegiatan pengajian. Tindakan ini penting, untuk mengklarifikasi dan mengkonfirmasi bahwa tudingan rezim berada dibalik persekusi dan intimidasi terhadap ulama, termasuk kepada UAS, adalah keliru.
Mudah saja bagi negara untuk membuktikan hal ini, negara bisa segera membubarkan ormas radikal dan intoleran, yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk merealisir tujuannya, serta mengambil alih peran dan fungsi negara.
Pasal 59 huruf e UU ormas menyatakan :
Ormas dilarang :
“melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Konsekuensi larangan ini, berdasarkan ketentuan UU No. 16 tahun 2017 tentang perubahan UU Ormas, bisa berkonsekuensi ormas dibubarkan. Pertanyaannya, beranikan negara membubarkan ormas yang kerap membubarkan pengajian, padahal aktivitas pembubaran kegiatan publik itu menjadi wewenang penegak hukum ? Punya nyalikah negara, membubarkan sekelompok kecil ormas di Jepara yang menolak pengajian UAS yang dikenal sering membubarkan pengajian?
Jika tidak, maka sah dan legal jika publik mengambil kesimpulan bahwa negara yang berada dibawah kendali rezim, adalah dalang dan berada dibalik semua kekisruhan ini.
Penulis: Ahmad Khozinudin, S.H (Ketua LBH Pelita Umat)
Tinggalkan Balasan