Maritim dan Kerancuan Identitas Bangsa

Keterangan Gambar :

Potretsultra

Indonesia sebagai negara maritim merupakan ungkapan yang selalu dilekatkan pada negara yang memiliki bangunan dasar peradaban maritim, sekitar 70% wilayah laut dan memiliki panjang pantai 81.000 KM. Memiliki letak geografis yang strategis (diapit dua benua dan dua samudera) sehingga kaya akan sumberdaya ikan, terumbu karang, kekayaan biologi laut, wisata bahari, sumber energi terbarukan dan mineral langka yang bernilai ekonomis tinggi.

Akan tetapi besarnya potensi ini tidak disertai dengan kemampuan dan arah pengembangan (Road map) yang dilakukan oleh seluruh elemen maritim bangsa ini. Sebab kita masih mengidap ‘Kerancuan Identitas’ sehingga keliru dalam menetapkan desain arah pengembangan bangsa. Secara identitas kita adalah negara maritim tetapi memfokuskan pengembangan negara secara kultural pada sektor agraria yang hingga kini tak kunjung mensejahterakan masyarakat.

Selama ini, desain demi desain arah pembangunan telah ditetapkan. Tetapi pembangunan dan pengembangan ekonomi maritim tidak dijadikan arus utama pembangunan nasional. Hal ini disebabkan secara kultural kita telah memposisikan diri sebagai negara agraria. Lembaga Maritim dibuat tetapi diberikan kuasa dan mandat yang terbatas. Paradoks ini memunculkan gugatan demi gugatan sebagai upaya Reorientasi pembangunan Nasional yang fokus pada pembangunan dan pengembangan sektor maritim.

Problem Visi Maritim

Problem utama kita adalah problem ingatan. Sehingga kita mengidap kerancuan dalam mendefinisikan identitas bangsa. Sudah terlalu lama kita membelakangi laut, teluk dan selat. Seharusnya laut, teluk dan selat menjadi masa depan Indonesia. Untuk mengatasi problem itu, maka perlu upaya untuk mengembalikan identitas bangsa ke khittahnya yaitu peradaban maritim. Sejarah yang tak terbantahkan adalah luas wilayah kita 70% adalah laut, sehingga menjadi penjelas realitas faktual, historis, dan kultural jati diri bangsa.

Realitas tersebut mestinya terintegrasi kedalam karakter bangsa yang diambil budaya bahari yaitu simbol samudera: garis horizon atau cakrawala yang bermakna kesetaraan, kebebasan, keterbukaan, kosmopolitan, interkultural dan multikultural. Semua karakter itu dalam bahasa modernnya adalah liberte, egalite, fraternite, open mind, melting society yang notabene adalah basic values dari demokrasi yang sesungguhnya.

Reorientasi Identitas ke Peradaban Maritim

Melihat konstruksi peradaban maritim bangsa ini, maka perubahan secara radikal harus dilakukan agar terjadi pergeseran pusat perhatian ke berbagai sektor. Dari pertanian dan peternakan ke perikanan, dari kehutanan ke kelautan. Dari perhubungan darat ke perhubungan laut. Dari parawisata darat ke parawisata laut.

Dari produksi darat ke produksi laut. Dari pertahanan kemanan darat ke pertahanan dan keamanan laut. Dari dimensi tinggi gunung ke dimensi kedalaman laut. Dari cara memandang laut ke daratan ke cara memandang daratan dari laut, dan tak kalah penting adalah budaya politik dan pepemimpinan politik pertanian ke budaya politik dan kepemimpinan politik maritim.

Perubahan radikal harus dilakukan karena merujuk realitas faktual, historis dan kultural jati diri bangsa sehingga membentuk konstruksi peradaban maritim. Selain itu sebagai contoh soal yang dapat pula dijadikan referensi pembanding, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa potensi ekonomi sektor kelautan bisa mengganti penerimaan dari sektor minyak dan gas bumi. Pendatan dari sektor laut bisa mencapai 18,7 miliar dollar AS per tahun atau sekitar Rp. 200 triliun. Ini dikatakannya berdasarkan pengalamannya di Pangandaran yang bisa mengekspor 20 – 30 juta dollar AS per tahun meskipun garis pantainya hanya sepanjang 91 kilometer sementara pantai Indonesia panjangnya 85.000 kilometer (Koran Tempo, 9/11/2014).

Penulis: Laode Muhamad Imran (Sekretaris HMI Cabang Kendari)

Potretsultra Potretsultra Potretsultra Potretsultra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *