Laode Basir, Menyoal RSUD Buton Selatan yang Turun Kelas

Laode Basir Bersama Temannya Sewktu SMA yang Saat ini Menjadi Dokter
Keterangan Gambar : Laode Basir Bersama Temannya Sewktu SMA yang Saat ini Menjadi Dokter (Foto: IST)

BUSEL – Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Buton Selatan (Busel) saat ini mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI soal penyesuaian kelas rumah sakit.

Berdasarkan surat bernomor HK.04.01/I/2963/2019 tentang Rekomendasi Penyesuaian Kelas Rumah Sakit, ada 615 rumah sakit turun kelas di seluruh Indonesia. Hal ini termasuk 12 rumah sakit di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dan salah satunya adalah RSUD Buton Selatan

Dikutip dari Liputan6.com, surat rekomendasi tersebut dikeluarkan Kemenkes RI tertanggal 15 Juli 2019. Menurut Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Bambang Wibowo, review dilakukan untuk merekam kompetensi rumah sakit, baik dari aspek sumber daya manusia (SDM), maupun alat-alat kesehatan.

RSUD Busel diturunkan dari kelas D menjadi D*. Kelas D artinya adalah paling rendah dalam klasifikasi rumah salit. RSUD Busel diturunkan dari kelas terendah menjadi harus mendapatkan pembinaan dari Dinas Kesehatan setempat selama 1 tahun.

Atas kondisi ini, tokoh pemuda sekaligus aktivis sosial Buton Selatan, Laode Basir angkat bicara. Menurutnya, Pemda dan masyarakat Busel harus memandang hal ini dari sisi positif. Ini harus dijadilan momentum untuk perbaikan secara menyeluruh dari hulu sampai hilir kebijakan di bidang kesehatan pemerintahan Buton Selatan.

“Atas hasil rewiew ini tidak bijak kita memikulkan kesalahan pada Direkur Rumah Sakit atau Kepala Dinas Kesehatan. Tetapi, tanggung jawab perbaikan harus menjadi perhatian mulai dari pengambil kebijakan penyusunan APBD dalam hal ini Bupati dan DPRD serta yang terlibat dalam eksekusi kebijakan yakni Kepala Dinas Kesehatan dan Dirut Rumah Sakit,” ujar Basir kepada Potretsultra.com, Jumat (2/8/2019).

Upaya perbaikan Buton Selatan sebagai daerah tonom baru, lanjut Basir, tentu banyak sekali aspek yang harus dibangun, sementara daya dukung anggaran tidak memadai. Untuk itu pemangku kebijakan (Bupati dan DPRD, red) harus punya skala prioritas.

Skala prioritas pembangunan tersebut, Basir mengistilahkan sebagai bidang-bidang yang mempunyai “daya kejut” atau “efek berantai” dalam upaya akselerasi pembangunan daerah. Sakala prioritas untuk daerah otonom baru menurut Basir paling sekitar 4 – 5 bidang dan bidang kesehatan adalah satunya.

Praktisi pendidikan yang saat ini berdomisili di Jakarta itu juga mengatakan, diketahui bahwa faktor utama penentu klasifikasi rumah sakit adalah ketersediaan dokter atau dokter ahli yang cukup dan kelengkapan peralatan yang mendukung tindakan medis di rumah sakit tersebut.

“Maka untuk memperbaiki pelayanan RSUD Busel, upaya yang harus dilakukan adalah pemenuhan terhadap kedua faktor utama itu,” katanya.

Menurut Basir, yang bisa dilakukan adalah, pertama dalam penyusunan APBD, Bupati dan DPRD harus memberi porsi anggaran yang cukup besar terhadap bidang kesehatan setelah bidang pendidikan. Karena fasilitas dan pelayanan kesehatan yang baik akan mendukung masyarakat daerah tersebut tumbuh kembang secara sehat. Dan hanya masyarakat yang sehatlah yang bisa melakukan hal-hal produktif.

Yang dilakukan kedua adalah, lanjut Basir, dengan anggaran yang ada (kategori presentasi besar dalam skala APBD Busel), maka dinas kesehatan dan direktur rumah sakit harus melakukan tindakan-tindakan perbaikan sarana dan melengkapi alat kesehatan secara bertahap. Sangat boleh jadi perbaikannya tidak cukup satu tahun tapi memakan waktu beberapa tahun.

“Artinya anggaran beberapa tahun APBD. Sehingga tindakan yang dilakukan harus yang didesain berkesinambungan,” jelasnya.

Yang Ketiga, kata Basir, untuk ketersedian SDM dokter atau dokter ahli serta tenaga medis yang hari ini belum memadai bisa dipenuhi melalui kerjasama dengan daerah lain yang dokter dan tenaga medisnya cukup. Tetapi langkah strategis pemenuhan SDM sendiri oleh Busel harus dilakulan.

“Caranya adalah, bersinergi dengan bidang pendidikan mulai melakukan pemetaan pontesi peserta didik di Busel mulai jenjang SMP dan SMA. Pemetaan pontensi ini tidak hanya dilakukan untuk pemenuhan SDM dokter tapi juga termasuk SDM bidang lain yang krusial dibutuhkan oleh Busel dan perlu intervesi kebijakan pemerintah,” terangnya.

Hasil pemetaan ini kemudian berujung pada adanya kebijakan pemberian beasiswa untuk mereka yang terpilih agar kuliah di fakultas kedokteran dengan kewajiban kembali mengabdi di daerahnya. Misalkan kalau anggaran cukup, dipilih tiap kecamatan satu orang, maka tiap tahun ada 7 orang siswa terbaik Busel yang lulus SMA akan lanjut kuliah di kedokteran. Selanjutnya mereka diarahkan juga untuk pengambilan spesialisasi sesuai dengan kebutuhan daerah.

“Kalau kebijakan ini ditempuh menurut saya, kedepan Busel tidak akan kekurangan lagi SDM dokter bahkan bisa dipenuhi sampai level Puskesmas di kecamatan atau pada spesialisasi tertentu sampai tingkatan Pustu di desa-desa,” tandasnya.

Sehingga secara bertahap, tambah Basir, akan terjadi perbaikan pelayanan di RSUD Busel yang berujung pada naiknya kelas secara bertahap. Dan untungnya lagi, dokter yang bertugas di daerah-daerah wilayah Busel adalah warga daerah itu sendiri, sehingga lebih memudahkan lagi dalam hubungan interaksi sosial dengan masyarakat sekitar.

“Bahkan dari aspek pendidikan hal ini bisa menjadi inspirasi untuk masyarakat sekitar,” tutupnya.

Laporan: Jubirman

Potretsultra Potretsultra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *