PoskoHAM Minta Komnas HAM Pantau Dugaan Pelanggaran HAM Adat di Proyek Bendungan Ameroro

Keterangan Gambar : Lokasi tanah ulayat walaka. Foto: Istimewa.

KONAWE – Sengkarut kasus di balik pembangunan Bendungan Ameroro semakin menjadi. Setelah bergulirnya dugaan mafia tanah dan kejahatan jabatan di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Kejaksaan Negeri Konawe atas penanganan dampak sosial proyek strategis nasional itu, Pusat Advokasi Konsorsium Hak Asasi Manusia (POSKOHAM) juga menyebut fakta terjadinya dugaan pelanggaran HAM atas hak ulayat masyarakat hukum adat Tolaki di dalamnya.

Hal itu terungkap setelah diketahui keberadaan Tanah Walaka Ngginiku sebagai bentuk warisan budaya masyarakat hukum adat Tolaki di lokasi mega proyek itu terkesan dimarginalisasi secara masif dan terstruktur oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab dengan berbagai modus.

Tidak hanya menyangkut hak partisipasi rumpun Walaka Ngginiku yang dikebiri, manipulasi data penerima dampak sosial yang tidak mengefakuasi hak rumpun ahli waris tanah ulayat itu juga menjadi bukti pelanggaran HAM di balik status hukum formil yang telah sangat jelas diberikan negara terhadap masyarakat hukum adat dan tanah ulayat yang melingkupinya.

“Pengabaian dan ketiadaan pengakuan terhadap hak atas tanah bagi masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat yang telah tinggal menguasai tanah secara fisik dengan terus-menerus adalah bentuk pelanggaran HAM,” tegas Ketua PoskoHAM, Jumran, Senin (27/5/2024).

Ia menuturkan, negara dalam hal ini pemerintah wajib memastikan pemenuhan hak masyarakat lokal serta harus memperhatikan dan mengakomodasi pengetahuan komunitas dan masyarakat hukum adat, baik dalam bentuk data geospasial maupun pengetahuan lokal tentang ruang.

“Artinya bahwa Walaka Ngginiku ini sebagai bentuk pengetahuan lokal masyarakat hukum adat Tolaki tentang ruang tidak bisa diabaikan begitu saja apalagi dilanggar, sebab secara konstitusional pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas pemenuhannya jika tidak ingin dikatakan melanggar,” tukasnya.

Lebih jauh, Jumran juga menerangkan, negara dalam hal ini pemerintah wajib melindungi hak-hak adat atas hutan yang sedang menjadi objek konflik dengan pihak-pihak luar sekalipun belum ada pengakuan keberadaan dan pengakuan tanah ulayat, sebab menurutnya UUD 1945 dan UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 telah melegitimasi dan mengakui hak-hak masyarakat adat.

Hal itu, lanjutnya, juga tertuang dalam Standar Norma Pengaturan (SNP) No 7 Tahun 2021 tentang Tanah dan SDA di mana pemerintah wajib melindungi dan menghormati kekayaan sistem pengetahuan, SDA dan sumber kehidupan ekonomi masyarakat hukum adat dari ancaman perusakan dan penghancuran sistematis dengan cara mendorong keadilan tata ruang dengan menemukan harmonisasi keterpaduan kebijakan dan regulasi masyarakat hukum adat dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip dan norma HAM.

“Jadi pemerintah wajib melakukan harmonisasi dan keterpaduan kebijakan serta regulasi untuk menciptakan keadilan atas tata ruang kehutanan yang berperspektif HAM,” tambahnya.

Untuk diketahui, Walaka Ngginiku sendiri telah diperkuat dengan alat bukti adanya kuburan dari Penjaga kebun H. Hasan/H. Puo-Puo yakni We Oloho (Keluarga Pak Rasid) yang adalah orang kepercayaan H. Hasan/H. Puo-Puo, beserta rumah serta tanaman lainya yang adalah merupakan ciri khas dari keberadaan tanah Walaka Ngginiku dalam etnis suku Tolaki.

Selain itu juga dibuktikan dengan surat Keterangan Kepemilikan Tanah Warisan Walaka Ngginiku Nomor 593/5/DA.1998 oleh Pemerintah Kecamatan Lambuya Desa Ameroro dan Surat Rekomendasi Nomor:07/DPD-LAT/I/2016 oleh Dewan Pengurus Pusat Lemabaga Adat Tolaki (LAT) Sulawesi Tenggara.

Atas fakta tersebut, PoskoHAM bakal meminta kepada Komnas HAM melakukan pemantauan dalam kasus ini serta berharap APH dapat dengan tegas dan adil kepada semua pihak, termasuk kepada anggota TNI/Polri yang terbukti melanggar hak masyarakat hukum adat dan ruang hidupnya.

Sebelumnya, kuasa ahli waris Walaka Ngginiku menyurati Ketua DPR RI, Menteri ATR/BPN, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BPKP, Menteri PUPR, Kepala Kejaksaan Agung RI, Ketua Komnas HAM RI, Ketua Ombudsman RI, Kepala Kejaksaan Tinggi Sultra dan Ketua Pengadilan Negeri Kabupaten Konawe, tertanggal 5 Mei 2024 pihak kuasa ahli waris kini resmi menyampaikan laporan dugaan mafia tanah di proyek strategis nasional tersebut ke Kejaksaan Negeri Konawe.

“Saat ini sudah dalam proses penanganan Kejaksaan Negeri Konawe dengan tanda bukti laporan tertanggal 5 mei 2024,” terang Kuasa Ahli Waris Walaka Ngginiku, Muhammad Azhar beberapa waktu lalu.

Ia menegaskan, pelaksanaan sebuah proyek seharusnya terlebih dahulu menyelesaikan ganti rugi lahan beserta dampak sosialnya yang berada dalam pembangunan mega proyek tersebut. Sebab menurutnya, tidak dibenarkan melaksanakan sebuah proyek kecuali telah selesai proses pembebasan lahannya.

Hal itu berdasarkan mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah dan juga dalam Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Sehingga lanjutnya, untuk menghargai hukum di negara ini, maka sepatutnya peresmian Bendungan Ameroro ditunda sampai dengan adanya keputusan hukum yang pasti atas kasus Dugaan Mafia Tanah didalamnya.

Kuasa ahli waris Walaka Ngginiku berharap, semua pihak tanpa terkecuali dapat menghargai proses Hukum yang sedang berjalan di kejaksaan, termasuk Presiden Republik Indonesia.

“Sebab Negara ini negara hukum, mari kita sama-sama menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi dengan menghargai dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan,” harapnya.
(Red)

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *