BUTON – Kehadiran Laode Muhammad Syarif sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) mendapat perhatian serius dari kalangan masyarakat terutama penggiat anti korupsi di daerah.
Sebagai pemerhati masyarakat lingkar tambang di Sultra, Muhammad Risman menyikapi banyaknya permasalahan terutama persoalan isu kerusakan lingkungan, seperti hutan yang diduga akibat pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan.
Apalagi, kata Risman, dilakukan dengan cara-cara tanpa melalui prosedural untuk mendapatkan IUP. Hal tersebut merupakan tindakan melawan hukum serta potensi korupsi terbuka. Menurut Risman, permasalahan itu hampir terjadi pada semua daerah. Saat ini Kabupaten Buton diketahui terdapat juga IUP milik PT Bumi Buton Deltah Megah. Perusahaan bergerak bidang pertambangan nikel yang terletak di blok Wawoncusu, Desa Lambusango, Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton.
Lanjutnya, sejak mendapatkan izin dan beroperasi tahun 2010/2011 perusahaan tersebut diduga tidak melaksanakan program Corparate Sosial Responsibility (CSR) atau tanggungjawab perusahaan kepada lingkar tambang. Padahal ketentuan peraturan diwajibkan untuk melaksanakan program CSR.
“Sangat jelas ketentuannya ada, aturan itu ada bahwa setiap perusahaan perusahaan pertambangan jika sudah beroperasi maka wajib melaksanakan program CSR sebagai bentuk tanggungjawab perusahaan kepada masyarakat,” jelas Risman kepada Potretsultra.com, Rabu (26/6/2019).
“Tetapi ini tidak ada katanya? Dan ini ada informasi bahwa sekarang bekas area pelabuhan bongkar-muat pertambangan nikel sudah merusak lingkungan sekitar apalagi disaat hujan turun, jadi itu tuntutan masyarakat lingkar tambang pada umumnya,” sambungnya.
Kewajiban CSR setiap perusahaan, tambah Risman, sangat jelas diatur dalam UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No 25 tahun 2012 tentang Penanaman Modal, PP No 47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, pada perusahaan tambang nikel di Kapontori dapat diketahui tidak terlaksana dengan baik.
Pada tahap ini, menurut Risman, KPK RI memiliki kewajiban menelusuri permasalahan yang ada. Jika ada indikasi perbuatan untuk memperkaya diri serta menguntungkan kelompok para investor pertambangan maka dapat ditindak.
“Sangat diharapkan pak Laode Syarif sebagai Pimpinan KPK yang kebetulan saat ini berada di Sulawesi Tenggara untuk dapat meninjau dan turun di daerah perusahaan tambang nikel Kapontori agar apa yang menjadi tuntutan dan dugaan masyarakat terkait indikasi korupsi saat proses pemberian IUP dapat terjawab,” pungkasnya.
Laporan: Jubirman
Tinggalkan Balasan