Evaluasi dan Kaji Ulang ‘Makan Bergizi Gratis’: Antara Realita dan Harapan

Keterangan Gambar : Kader HMI Cabang Kendari, Jumriman

OPINI – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diperkenalkan sebagai salah satu terobosan besar dalam kebijakan sosial.

Pemerintah ingin memastikan bahwa anak-anak sekolah, terutama yang berasal dari keluarga kurang mampu, mendapatkan asupan gizi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan konsentrasi belajar mereka.

Semangat yang terkandung di dalamnya sungguh mulia: melawan malnutrisi, meringankan beban keluarga, dan menyiapkan generasi sehat untuk masa depan bangsa. Namun, realitanya di lapangan berkata lain.

Alih-alih menyehatkan, sejumlah kasus keracunan massal justru muncul di berbagai daerah setelah program ini dijalankan. Ratusan hingga ribuan anak jatuh sakit setelah mengonsumsi makanan yang semestinya memberi energi dan gizi.

Kejadian ini menimbulkan kekecewaan, kemarahan, sekaligus pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin sebuah program yang niatnya baik justru berbalik menjadi malapetaka?

Sejak awal, program MBG memang dicanangkan dengan target yang sangat ambisius. Jutaan penerima manfaat harus dilayani dalam waktu yang singkat. Target besar ini menciptakan dorongan untuk mempercepat pelaksanaan program tersebut, meski kesiapan di lapangan belum sepenuhnya matang.

Pemerintah bekerja sama dengan berbagai penyedia makanan, mulai dari dapur besar hingga usaha katering lokal. Sayangnya, dalam kecepatan mengejar kuantitas, aspek kualitas dan keamanan pangan seolah terabaikan.

Beberapa dapur produksi makanan belum memiliki standar kebersihan yang jelas. Penyimpanan makanan yang tidak sesuai prosedur, rantai distribusi yang panjang tanpa pengawasan memadai, hingga keterbatasan tenaga terlatih menjadi celah munculnya masalah.

Hasilnya bisa kita lihat, makanan yang seharusnya bergizi justru menjadi makanan yang tidak lagi menyehatkan. Anak-anak yang mengonsumsinya mengalami gejala keracunan mulai dari mual, muntah, hingga diare.

Bagi orang dewasa, mungkin gejala ini bisa cepat diatasi, tetapi bagi anak-anak dengan daya tahan tubuh lemah, dampaknya bisa sangat serius.

Lalu pertanyaan besar pun muncul, siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah kesalahan ada di tangan pemasok makanan yang lalai menjaga higienitas? Atau apakah ini cerminan lemahnya sistem pengawasan dari pemerintah pusat dan daerah?

Di titik ini, akuntabilitas menjadi isu utama. Pemerintah berhak berbangga dengan kebijakan populis yang menyentuh rakyat kecil, tetapi kewajiban paling dasar adalah tidak membahayakan bagi penerimanya.

Keracunan massal bukanlah risiko kecil yang bisa dianggap “kesalahan teknis.” Ia adalah tanda kegagalan tata kelola dari makan bergizi gratis ini.

tragedi ini menunjukkan persoalan klasik dalam kebijakan publik di Indonesia, ambisi besar yang tidak diimbangi kesiapan lapangan. Dalam banyak kasus, pemerintah bersemangat meluncurkan program berskala nasional dengan cepat, tetapi detail teknis dan kapasitas pelaksanaan sering kali diabaikan.

Model “luncurkan besar-besaran, lalu perbaiki sambil jalan” mungkin bisa diterapkan untuk program infrastruktur, tetapi sangat berbahaya untuk program yang menyangkut kesehatan publik. Makanan adalah kebutuhan dasar sekaligus titik rawan. Kesalahan kecil bisa menimbulkan dampak massal, apalagi jika menyangkut anak-anak.

Keracunan massal dalam program MBG bukan hanya soal kegagalan manajemen, tetapi juga pelanggaran terhadap hak anak. Anak-anak berhak mendapatkan makanan yang sehat, bergizi, dan aman. Negara bukan hanya bertugas memberi, tetapi memastikan bahwa pemberian itu tidak mencederai hak dasar mereka.

Bayangkan trauma yang dialami anak-anak yang muntah dan sakit setelah makan dari program sekolah. Orang tua pun kehilangan rasa percaya, bukan hanya pada program, tetapi pada institusi pendidikan dan pemerintah. Trauma ini tidak bisa dihapus hanya dengan pernyataan resmi; ia membutuhkan tindakan nyata yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.

Pernyataan permintaan maaf yang dilakukan pemerintah tidak cukup. Publik berhak menuntut transparansi penuh, berapa banyak korban, dari mana sumber kontaminasi, siapa yang lalai, dan apa langkah perbaikan nyata yang akan dilakukan. Tanpa itu, kepercayaan terhadap program akan runtuh. Padahal, sekali kepercayaan hilang, sulit bagi masyarakat untuk kembali percaya, bahkan jika perbaikan sudah dilakukan.

Tragedi ini seharusnya menjadi momentum untuk berhenti sejenak dan melakukan evaluasi menyeluruh. Ada beberapa langkah konkret yang harus dilakukan oleh pemerintah yaitu langkah pertama yang paling mendesak adalah menghentikan sementara distribusi makanan dari dapur atau penyedia yang diduga menjadi sumber keracunan.

Selama masa penghentian ini, audit menyeluruh harus dilakukan, mulai dari pengadaan bahan baku, proses pengolahan, hingga distribusi. Audit tidak boleh hanya formalitas, melainkan didukung oleh hasil laboratorium untuk memastikan keamanan pangan.

Kemudian setiap penyedia makanan dalam program MBG wajib memiliki sertifikasi standar kesehatan dan keamanan pangan. Sertifikasi ini harus dikeluarkan oleh lembaga resmi seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) atau Dinas Kesehatan daerah. Tanpa standar yang jelas, penyedia dengan kualitas rendah berpotensi lolos dan kembali membahayakan masyarakat.

Untuk itu pengawasan dalam program makan bergizi gratis tidak bisa hanya dilakukan di tingkat pusat. Diperlukan sistem pengawasan berlapis yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, sekolah, bahkan komite orang tua.

Dengan sistem ini, setiap tahap distribusi makanan mendapat pengawasan langsung, sehingga jika ada masalah, bisa segera diidentifikasi dan dihentikan sebelum menimbulkan korban massal.

Niat baik yang dilakukan oleh pemerintah melalui makan bergizi gratis dengan memberi makan anak-anak harus tetap dijalankan, tetapi dengan satu prinsip yang tidak bisa ditawar, keselamatan penerima adalah prioritas utama. Program sosial tidak boleh sekadar menjadi pencitraan politik, ia harus menjadi bukti nyata bahwa negara benar-benar hadir dengan penuh tanggung jawab.

Jika pemerintah mampu belajar dari tragedi ini dan melakukan perbaikan serius, maka kepercayaan publik bisa dipulihkan, dan program MBG akan benar-benar menjadi kebanggaan nasional. Tetapi jika kesalahan yang sama terulang, maka niat baik akan berubah menjadi luka panjang bagi masyarakat.

Penulis: Jumriman (Kader HMI Cabang Kendari)

Potretsultra Potretsultra
Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *