Yang Luput dari Negosiasi RI-Freeport

Keterangan Gambar :

Potretsultra.com – Alhamdulillah, setelah setengah abad, kepemilikan saham Indonesia di tambang Grasberg di Papua menjadi mayoritas: 51 persen. Tentu saja, pemilikan saham mayoritas ini sudah lama dirindukan oleh banyak orang Indonesia untuk menegakkan kedaulatan ekonomi bangsa ini.

Kita berharap, pemilikan saham mayoritas ini bisa benar-benar untuk kemakmuran rakyat, seperti diamanatkan pasal 33 UUD 1945. Artinya, pajak, royalti hingga retribusinya benar-benar mengalir untuk kesejahteraan rakyat, terutama rakyat Papua.

Namun, di samping soal pemilikan saham itu, ada hal penting yang luput disentuh dalam perundingan antara Indonesia dengan Freeport, yakni soal kerusakan lingkungan.

Ini jangan dianggap remeh. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK baru-baru ini menemukan pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia. Mulai dari penggunaan kawasan hutan lindung dalam kegiatan operasionalnya tanpa izin, hingga pencemaran limbah operasional penambangan di sungai, hutan, muara, dan telah mencapai kawasan laut.

BPK sendiri menaksir, potensi kerugian negara akibat pelanggaran lingkungan itu mencapai Rp 185 triliuan. Ini bukan angka sedikit.

Bandingkan dengan jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh PT Inalum (Persero) untuk membeli participating interest (PI) Rio Tinto di PTFI dan 100 saham FCX (Freeport McMoran Incorporated) di PT Indocopper Investama sebesar 3,85 miliar dollar AS atau sekitar Rp 55,44 triliun.

Kalau hitungan BPK benar, biaya kerusakan lingkungan Freeport tiga kali lipat lebih besar dari biaya yang digelontorkan PT Inalum untuk membeli saham Freeport.

Selain itu, soal kerusakan lingkungan ini juga penting bagi saudara-saudara kita di Papua. Tentu saja, saham 10 persen yang diterima oleh rakyat Papua tidak sebanding dengan kerusakan ruang hidup yang mereka alami. Belum lagi menghitung biaya sosial akibat konflik dan pelanggaran HAM akibat kehadiran Freeport di Papua.

Potretsultra

Apalagi, operasional Freeport sudah diperpanjang hingga 2041. Jika isu lingkungan ini tidak disentuh, tentu malapetaka jangka panjang akan dirasai oleh rakyat Papua.

Karena itu, jika isu kerusakan lingkungan itu terabaikan, hanya orang Jakarta yang berpesta kemenangan. Belum tentu bagi rakyat Papua.

Soal Operator Tunggal di Tambang Grasberg

Ada kabar yang menyebutkan, termasuk dari link di bawah ini, bahwa sekalipun Indonesia/Inalum pemilik saham mayoritas di tambang Grasberg, tetapi operatornya tetap Freeport. Ya, operator tunggal.

Tadinya logika berpikir saya sebagai orang awam begini: dengan pemilikan saham mayoritas (51 persen), RI akan berdaulat di tambang Grasberg, termasuk memegang kendali operasional lapangan.

Namun, berdasarkan pernyataan Menteri Rini di berita ini, karena alasan Indonesia tidak mampu, Freeport ingin jadi operator tunggal di tambang Grasberg. Dan pemerintah RI setuju-setuju saja.

Lantas, Apa Artinya Pemilikan Saham 51 Persen?

Kalau kabar ini benar, berarti pemerintah hanya mengejar pajak, royalti dan tambahan penerimaan lain. Tetapi abai aspek mendasar: kedaulatan bangsa Indonesia atas tambang Grasberg.

Tadinya saya berpikir, dengan pemilikan saham mayoritas, RI bisa menjadikan INALUM sebagai mitra operator di tambang Grasberg. Dengan begitu, ada perspektif Indonesia kedepan bisa mengelola sendiri.

Semoga kabar baik soal keberhasilan pemerintah RI menguasai 51 persen saham Freeport bukanlah kesepakatan yang buru-buru (tetapi manipulatif) untuk bahan kampanye Pemilu 2019.

Baca: https://katadata.co.id/berita/2018/06/30/pemerintah-sepakat-bentuk-perusahaan-patungan-freeport-tetap-operator

Penulis: Rudi Hartono, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP PRD)

Potretsultra Potretsultra Potretsultra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *