OPINI – Pergerakan pelajar di Indonesia tertulis jelas dalam catatan sejarah negeri ini. Dimulai dari sejarah yang menceritakan partisipasi pelajar sejak dari upaya melawan penjajah sampai dengan menyuseskan tercapainya asa dan harapan dari sebuah keinginan bangsa untuk merdeka.
Peristiwa nyata pergerakan pelajar dapat kita temukan dalam sebuah rekaman sejarah tepatnya pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahun 1928 pada momentum kongres Pemuda Indonesia yang ke-2. Pelajar-pelajar yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) memprakarsai penggalangan persatuan dan kekuatan pemuda dan pelajar di seluruh wilayah Indonesia. Outputnya adalah sumpahpemuda yang didengungkan pada tanggal 28 Oktober 1928 yang isinya yaitu: Satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia.
Hal ini kemudian menjadi tekad serta komitmen persatuan yang kuat dan merupakan modal dasar perjuangan, yang kemudian dianggap sebagai tonggak sejarah perjuangan yang hakiki dan monumental. Tentunya masih banyak lagi sejarah yang mencatat bagaimana pergerakan pelajar itu.
September 2019 tentunya menjadi sejarah baru dari pergerakan pelajar dan pemuda Indonesia. Baru-baru ini kita tau bahwa berbondong-bondong mahasiswa melakukan aksi penolakan terhadap RKUHP dan revisi UU KPK oleh pemerintah yang dinilai kontroversi. Aksi ini kemudian menjadi Viral karena dilakukan serentak oleh mahasiswa Perguruan Tinggi seluruh Indonesia.
Ada yang menarik. Rupanya aksi kali ini dihebohkan dengan keterlibatan pelajar asal STM yang masuk dalam barisan pergerakan massa aksi di Jakarta. Pelajar yang biasanya kita tau hanya teriak-teriak di jalan pada saat tawuran dan hanya dipandang sebelah mata, kini ikut turun di jalan dalam rangka menyuarakan aspirasi dan keresehan dari rakyat.

Apakah fenomena ini buruk untuk pelajar? Apakah pantas dilakukan oleh seorang pelajaryang masih duduk di sebuah bangku sekolah, yang katanya usia dan pengetahuan cukup jauh berbeda dibanding dengan para mahasiswa? Fenomena ini tentunya menjadi kontroversi di masyarakat. Ada yang mengatakan sah-sah saja, ada juga yang menilai ini tidak seharusnya terjadi. Namun bukankah pelajar lebih baik terlibat demontrasi dari pada tawuran?
Saya meyakini bahwa fenomena aksi dari para pelajar asal STM ini telah menaikan Indeks literasi politik di kalangan pelajar dan menjadi tren baru gerakan politik. Sejak dini pelajar memang sudah seharusnya melek politik dan edukasi politik. Sudah sepantasnya bukan menjadi hal yang tabu untuk diperbincangkan di lingkup pelajar agar sedari dini pelajar dapat mengetahui hak-hak politiknya dan menyadari seberapa penting hak-hak politik itu dapat mereka gunakan untuk kemajuan bangsaini.
Walaupun pelajar tidak dimaksudkan untuk terlibat dalam politik praktis. Namun seyogyanya pelajar dibekali wawasan politik. Sangat disayangkan jika minat pelajar pada edukasi politik dan hal-hal yang bertemakan politik masih sangat kecil. Disayangkan jika pelajar hanya asik dengan game dan gawai mereka, enggan berdiskusi dan mau tau informasi politik.
Pelajar masih merasa politik itu bukan untuk seusia mereka. Padahal dengan politik, pelajar tau bagaimana memperjuangkan nasib dan masa depan bangsa Indonesia.
Pelajar merupakan penerus estafet kepemimpinan bangsa. Pelajar merupakan aset bangsa yang akan melanjutkan masa depan bangsa sepatutnya dijaga dan dilindungi oleh Negara dengan memahami esensi dari pada politik itu sendiri. Kita berharap menjadi sebuah spirit bagi pelajar untuk terus berbuat dan berkontribusi dalam melakukan perbaikan politik di masa yang akan datang. Namun energi ini harus disampaikan dengan narasi yang baik serta dengan cara-cara yang baik pula.
Sudah menjadi tugas kita bersama dalam memberikan edukasi politik di kalangan pelajar agar pelajar Indonesia melek politik.
Penulis: Edi Asis (Ketua Umum PW IPM Sultra)



Tinggalkan Balasan