KENDARI – Mahkamah Konstitusi (MK) sepakat memutuskan pemisahan pemilihan umum nasional dan pemilihan kepala daerah tahun 2029.
Hal ini diputuskan MK bertujuan untuk menyederhanakan proses bagi pemilih, memperbaiki kualitas demokrasi, serta mengurangi beban berat bagi penyelenggara pemilu dan partai politik yang selama ini menghadapi jadwal pemilu yang sangat padat dalam waktu yang hampir bersamaan.
MK memutuskan untuk mengakhiri skema pemilu lima kotak yang selama ini digunakan dalam Pemilu Serentak. Dalam putusan terbarunya, MK menetapkan bahwa mulai tahun 2029, pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah atau lokal harus dipisahkan melalui pengujian UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Pilkada.
Putusan ini diambil demi menjaga kualitas pemilu, meningkatkan efisiensi penyelenggaraan, serta memberi ruang yang lebih baik bagi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya secara cermat dan tidak terburu-buru.
Pemisahan tersebut menuai pro kontra di publik. Hal ini mengundang komentar dari Pengamat Hukum Tata Negara Sulawesi Tenggara (Sultra), Dr LM Bariun SH, MH.
LM Bariun tidak memungkiri polemik pro dan kontra atas putusan MK tersebut namun hal itu dipandang perlu demi menjaga kesakralan demokrasi.
Direktur Pascasarjana Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra) itu juga menilai pemisahan penyelenggaraan rezim pemilu dan rezim pilkada bisa mengurangi potensi tumbangnya petugas penyelenggara pemilu akibat kelelahan, dan memberi keleluasaan demokratis kepada pemilih untuk benar-benar memilih sesuai hari nuraninya.
“Pertama pemilu itu kan banyak korban penyelenggaranya dan kedua dianggap juga tidak begitu demokratis karena masyarakat terlalu banyak pilihannya sehingga banyak pilihan menentukan sehingga menghilangkan kesakralan dari pemilu itu sendiri,” katanya, Kamis (3/07/2025).
LM Bariun juga menilai bahwa pemisahan pemilu nasional dan pilkada lokal memutus adanya istilah politik.
“Barter-barter ada barter DPR RI dengan gubernur dengan bupati dan seterusnya nah disitu juga salah satu pertimbangan dengan majelis MK sehingga ini harus dipisah apa lagi ada dasarnya,” tambahnya.
Lanjutnya, keadilan dari keputusan MK ini terletak pada tambahan 3 tahun masa keanggotaan legislatif dari 2029 ke 2031, dimana ketua partai akan jadi penentu kelanjutan kader partainya di DPRD, artinya bila masa tugas anggota legislatif 2029 selesai sesuai SK maka diserahkan ke ketua partai untuk menentukan figur kadernya yang akan mengisi kursi keanggotaan DPRD hingga 2031.
“Nah bisa menentukan yang baru disitu berarti adil, keadilan yang berarti calon-calon yang ikut kemarin mendapat jatah legislatif bisa diganti yang baru lagi,” tukasnya.
Pemisahan penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal juga diyakini akan memperbaiki pengelolaan data pemilih yang melibatkan banyak instansi dan lembaga pemerintah.
Laporan: Jumrin































Tinggalkan Balasan