JAKARTA – Puluhan massa aksi yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Indonesia Konawe – Jakarta mendatangi Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia, Senin (20/5) lalu. Mereka meminta kapada Lembaga anti rasua tersebut untuk memeriksa Bupati Konawe, Kery Saiful Konggoasa atas dugaan tindak pidana korupsi.
Koordinator lapangan, Muhamad Ikram Pelesa dalam orasinya menyampaikan bahwa pihaknya menemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi. Kata dia, modusnya dengan melakukan manipulasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pembentukan dan Pendefinitifan 42 desa dalam wilayah Kabupaten Konawe, menjadi PERDA Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Penambahan Pembentukan dan Pendefinitifan 56 desa dalam wilayah Kabupaten Konawe, yang pada kenyataannya tidak pernah ada penetapan 56 desa tambahan oleh DPRD Kabupaten Konawe pada tahun 2011.
“Kami menemukan ada Perda siluman (Perda Nomor 7 Tahun 2011, red) yang seolah menjadi revisi dari Perda no. 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan 42 desa dalam wilayah Kabupaten Konawe, sementara diperda siluman tersebut terdapat penambahan 56 desa, yang sama sekali pada tahun 2011 hingga saat ini tidak pernah ditetapkan sebagai Perda,” beber Ikram kepada Potretsultra.com
Ikram juga menjelaskan, pemerintah Kabupaten Konawe pada tahun 2016 hingga saat ini menggunakan Perda Nomor 7 Tahun 2011 sebagai rujukan dalam pengusulan penerima dana desa di Kabupaten Konawe. Padahal menurutnya Perda tersebut merupakan Perda siluman dengan sisipan 56 desa tanpa pernah ditetapkan sebagai Perda.
Sehingga Ikram menilai bahwa Bupati Konawe Kery Saiful Konggoasa beserta Mantan Ketua DPRD Konawe Gusli Topan Sabara, Kepala BPKAD, Ferdinand beserta Kepala BPMD Konawe harus bertanggung jawab atas dugaan kerugian negara yang diakibatkan 56 desa fiktif penerima dana desa di Kabupaten Konawe.
“Kerugian negara yang kami maksudkan adalah karena Pemerintah Konawe Pada tahun 2016 hingga saat ini menggunakan Perda nomor 7 sebagai salah rujukan penerima dana desa, padahal perda tersebut tidak pernah ditetapkan oleh DPRD. Bisa dibayangkan berapa miliar kerugian negara dari 56 desa penerima sejak tahun 2016 hingga saat ini. Untuk itu Bupati Konawe, Ketua DPRD, Kepala BPKAD dan BPMD yang menjabat saat itu harus diproses oleh KPK RI,” ucap Mahasiswa Pascasarjana Manajemen CSR Trisakti ini.
Lebih lanjut Wakil Sekretaris Jenderal PB HMI ini mengungkapkan, berdasarkan data dan informasi yang dihimpun diduga bahwa tidak ada perubahan Perda Nomor 2 Tahun 2011, dalam artian bahwa Perda Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas peraturan daerah Nomor 2 Tahun 2011. Sebab jika merujuk pada nomor register perda tersebut dalam lembaran daerah Nomor register Perda tersebut adalah tentang pengesahan APBD Konawe bukan tentang desa.
Ikram menilai bahwa Perda Nomor 7 tahun 2011 adalah fiktif dan manipulatif. Sebab dalam Perda tersebut terdapat beberapa puluhan desa yang baru dimekarkan pada kisaran tahun 2014 beberapa diantaranya yakni Desa Lalowulo (Kecamatan Besulutu), Desa Lerehoma, Desa Wunduogohi (Kecamatan Anggaberi), Desa Wawo Andaroa, Desa Puusawa Jaya (Kecamatan Sampara) dan Desa Puuwonua (Kecamatan Konawe).
“Sesuai data dan info yang kami punya Perda tersebut (Perda Nomor 7 Tahun 2011) bukan soal desa tapi soal APBD Konawe jadi dugaan kami kuat sekali jika barang itu fiktif dan manipulatif. Sebab, anehnya masa ada desa baru mekar 2014 tapi sudah diperdakan 2011,” terangnya.
Sementara itu Staf KPK RI Bagian Pelaporan langsung dan penindakan, Alfieta Nur Baroroh mengatakan, pihaknya akan segera menyampaikan berkas laporan kepada pimpinan KPK RI. Ia juga meminta waktu 30 hari kerja untuk menindaklanjuti persoalan tersebut, selebihnya ia mempersilahkan IMIK Jakarta untuk mengawal.
“Kami akan segera menyampaikan berkas laporan ini kepada pimpinan KPK RI, kami meminta waktu 30 hari kerja untuk menindaklanjuti persoalan tersebut, selebihnya kami mempersilahkan rekan-rekan IMIK Jakarta untuk mengawal,” ujarnya.
Laporan: Redaksi
Tinggalkan Balasan