Anarkisme: Solusi atau Bukan?

Keterangan Gambar : Ilustrasi Aksi

OPINI – Sebagai amanat Amandemen UUD 1945 pasal 28E ayat (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Menjadikan semua Warga Negara Indonesia (WNI) dengan bebas berkritik, menyampaikan pendapat.

Apa yang terjadi terutama pada sekitarnya diharapkan berpendapat dengan konsep-konsep secara tertulis agar yang disampaikan dapat dipahami publik. Harapannya sebagai bentuk menjunjung nilai-nilai etika budaya Indonesia, musyawarah dan mufakat lebih baik.

Telah banyak para pejabat di negeri ini yang terlahir berlatar belakang sebagai penggerak perubahan. Sejak mahasiswa sudah merumuskan konsep-konsep secara tertulis tentang perubahan. Sebut saja Budiman Sudjatmiko (Aktivis PRD), Fahri Hamzah (Aktivis KAMMI) dan lain-lainnya. Mereka merupakan seorang orator untuk menjatuhkan rezim Orde Baru (1998) menuntut Reformasi.

Nalar konsep yang dipadukan dengan catatan-catatan agar menjadi referensi. Semangat ini merupakan sekedar mengingatkan kepada generasi saat ini. Bahwa seperti itu perjuangan tuntutan reformasi.

Sebelum reformasi, mahasiswa merupakan salah satu kekuatan politik yang sangat penting bagi Soeharto, dalam mendirikan Orde Baru. Terutama, dalam memberikan tekanan-tekanan politik terhadap Presiden Soekarno di periode 1965-1966. Secara resmi, perjuangan Soeharto mendirikan Orde Baru, dimulai sejak ditanda tanganinya Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar oleh Soekarno.

Dari kebebasan untuk menyampaikan pendapat, maka munculah gerakan-gerakan front yang terbentuk dari rahim kekuatan mahasiswa sampai sekarang untuk menyuarakan keadilan dan tuntutan-tuntutan lainnya. Melalui aksi turun dijalan. Aksi pengrusakan fasilitas umum yang tidak dapat dihindari selalu menjadi sorotan publik terkait sikap para kelompok demonstrasi.

Namun kini, mereka-mereka sang penggerak mahasiswa 1998 kembali didemo. 20 tahun lalu, mereka berdiri dijalanan. Diatas mobil sound sistym berteriak menyuarakan tuntutan reformasi. Setelah mereka duduk didalam gedung sebagai wakil rakyat merasa tidak? Entah kenapa? Cuman mereka yang ketahui.

Seperti hukum karma yang sulit dipisahkan dengan hal fakta. Apakah saat itu benar-benar murni atau yang saat ini (aksi mahasiswa 2019) benar-benar murni karena perjuangan rakyat? Yang jelasnya, hukum karma harus dihindari walaupun itu bukan urusan sesama manusia untuk menentukan. Tetapi ikhtiar itu penting.

Gerakan terlahir dari semangat membangun Republik ini sangat sulit didapatkan. Sangat sulit. Selalunya ada issu ‘ditunggangi’? Seolah menyudutkan pihak tertentu. Secara subjektif tidak ada niat WNI satupun untuk menjerumuskan ‘kedalam lubang gelap’ ketika siapapun yang memiliki wewenang/sebagai penyelenggara pemerintahan Republik ini baik di pusat maupun di daerah.

Setiap yang diamanatkan oleh pejabat atau penyelenggara negara sebelum menjabat atau bertugas disumpah berdasarkan perundang-undangan berlaku. Oleh sebabnya, kepada setiap penyelanggara negara ketika ada kritikan, saran atau masukkan segera ditindaklanjuti. Tidak perlu menunggu melebar kearah anarkis. Karena itu bukan solusi.

Tetapi patut disyukuri perjuangan mahasiswa 1998 sukses menjatuhkan rezim Orde Baru. Soeharto sebagai Presiden RI ke-2 (32 tahun) mundur dan digantikkan oleh BJ. Habibie dari Wakil Presiden dinaikkan menjadi Presiden RI ke-3. Pada kepimimpinan BJ. Habibie banyak perubahan meskipun terdapat pro-kontra yang bersamaan dengan momentum Referendum kemerdekaan diadakan Timor-timur tahun 1999.

Akibat itu, penolakan kepemimpinan BJ. Habibie terus bergulir karena masih dikatakan bagian dari Orde Baru bahkan dituding sebagai penyebab terlepasnya Timor-timur hingga laporan pertanggungjawaban ditolak MPR tahun 1999. Itu juga menandai pergantian BJ. Habibie. Tetapi perjuangan BJ. Habibie selama memimpin dengan waktu singkat (1998-99) banyak yang ditetapkan sebagai awal kebebasan, yang utama pengesahan UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Kemudian digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gusdur) sebagai Presiden RI ke-4 melalui pemilihan dilaksanakan pada sidang MPR. Namun, tidak lama digantikan karena salah satu penyebab keputusan mengeluarkan dekrit presiden tentang membubarkan DPR. Tentu sikap demikian, menjadikan dasar para Anggota DPR/MPR menggelar rapat istimewa.

Sidang istimewa MPR yang semula akan digelar pada 1 Agustus 2001 dipercepat menjadi hari itu juga atau Senin 23 Juli 2001, siang. Sidang istimewa digelar untuk memakzulkan Gus Dur dari kursi presiden, meski tidak diikuti Fraksi PKB dan PDKB. Sidang istimewa juga dilakukan untuk mengangkat Megawati sebagai Presiden ke-5 RI sekaligus memilih Hamzah Haz yang kala itu menjabat Ketum PPP sebagai Wakil Presiden melalui voting.

Kemudian diera Megawati Soekarno Putri sebagai wakil Presiden menggantikan Gusdur sebagai Presiden dapat menyempurnakan semangat Reformasi dengan melakukan Amandemen UUD 1945 ke-3 UUD 1945 menyebutkan pasal 1, 3, 6, 6A, 7A, 7B, 7C, 8, 11, 17, 22C, 22D, 22E, ditetapkan dalam sidang MPR tertanggal 9 November 2001.

Dengan amandemen ketiga UUD 1945 sebagai dasar hukum pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) /penyelenggara pemilu untuk menentukan secara langsung memilih Presiden/Wakil Presiden, Anggota DPR/DPD RI pertama kalinya dilaksanakan pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2004.

Pemilu 2004 yang diikuti oleh calon perseorangan, 24 Partai politik dan 5 pasangan calon Presiden/wakil presiden. Terpilih secara Demokrasi pasangan Susilo Bambang Yodhono (SBY) – Jusuf Kalla (JK) sebagai Presiden/Wakil Presiden, periode 2004-2009.

Catatan diatas merupakan bagian referensi untuk merenungkan bahwa gerakan perubahan selalu ditandai dengan aksi anarkisme. Banyak daerah bergejolak seolah-olah masukkan/saran dari sang perubahan (mahasiswa) tidak didengarkan oleh para pengambil kebijakan atau ada faktor lain secara politis yang menjadi latarbelakang situasi seperti saat ini?

Penulis: Muhammad Risman (Pemuda Buton)

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *